Seiring
dengan dinamika peradaban yang terus bergerak menuju arus globalisasi, bahasa
Indonesia dihadapkan pada persoalan yang semakin rumit dan kompleks. Pertama,
dalam hakikatnya sebagai bahasa komunikasi, bahasa Indonesia dituntut untuk
bersikap luwes dan terbuka terhadap pengaruh asing. Hal ini cukup beralasan,
sebab kondisi zaman yang semakin kosmopolit dalam satu pusaran global dan
mondial, bahasa Indonesia harus mampu menjalankan peran interaksi yang praktis
antara komunikator dan komunikan. Artinya, setiap peristiwa komunikasi yang
menggunakan media bahasa Indonesia harus bisa menciptakan suasana interaktif
dan kondusif, sehingga mudah dipahami dan terhindar dari kemungkinan salah
tafsir.
(! Read more)
Kedua, dalam kedudukannya sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia harus tetap
mampu menunjukkan jatidirinya sebagai milik bangsa yang beradab dan berbudaya
di tengah-tengah pergaulan antarbangsa di dunia. Hal ini sangat penting
disadari, sebab modernisasi yang demikian gencar merasuki sendi-sendi kehidupan
bangsa dikhawatirkan akan menggerus jatidiri bangsa yang selama ini kita
banggakan dan kita agung-agungkan. “Ruh” heroisme, patriotisme, dan
nasionalisme yang dulu gencar digelorakan oleh para pendahulu negeri harus
tetap menjadi basis moral yang kukuh dan kuat dalam menyikapi berbagai macam
bentuk modernisasi di segenap sektor kehidupan. Dengan kata lain, bahasa
Indonesia sebagai bagian jatidiri bangsa harus tetap menampakkan kesejatian dan
wujud hakikinya di tengah-tengah kuatnya arus modernisasi.
Ketiga,
bahasa Indonesia dituntut untuk mampu menjadi bahasa pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek) seiring dengan pesatnya laju perkembangan
industri dan Iptek. Ini artinya, bahasa Indonesia harus mampu menerjemahkan dan
diterjemahkan oleh bahasa lain yang lebih dahulu menyentuh aspek industri dan Iptek.
Persoalannya sekarang, mampukah bahasa Indonesia berdiri tegas di tengah-tengah
tuntutan modenisasi, tetapi tetap sanggup mempertahankan jatidirinya sebagai
milik bangsa yang beradab dan berbudaya? Sanggupkah bahasa Indonesia menjadi
bahasa pengembangan Iptek yang wibawa dan terhormat, sejajar dengan
bahasa-bahasa lain di dunia?masih setia dan banggakah para penuturnya untuk
tetap menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam berbagai wacana
komunikasi?
Tanpa Sosialisasi
Kalau kita melihat fakta di lapangan, perhatian dna kepedulian kita untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, secara jujur harus diakui
belum sesuai harapan. Keluhan tentang rendahnya mutu pemakaian bahasa Indonesia
sudah lama terdengar. Ironisnya, belum juga ada kemauan baik untuk menggunakan
sekaligus meningkatkan mutu berbahasa. Tidak sedikit kita mendengar bahasa para
pejabat yang rancu dan payah kosakatanya sehingga menimbulkan kesalahpahaman
dalam penafsiran. Tidak jarang kita mendengar tokoh-tokoh publik yang begitu
mudah melakukan manipulasi bahasa. Yang lebih mencemaskan, kita masih terlalu
mengagungkan nilai-nilai modern sehingga merasa lebih terhormat dan terpelajar
jika dalam bertutur menyelipkan setumpuk istilah asing yang sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. Memang, bahasa Indonesia tidak
antimodernisasi. Bahas akita cukup terbuka terhadap pengaruh bahasa asing. Akan
tetapi, rasa rendah diri (inferior) yang berlebihan dalam menggunakan bahasa
sendiri justru mencerminkan sikap masa bodoh yang bisa melunturkan kesetiaan,
kecintaan, dan kebanggaan terhadap bahasa sendiri. Haruskah bahasa Indonesia
disingkirkan sebagai tuan rumah di negeri sendiri?
Menurut hemat penulis, kondisi di atas setidaknya dilatarbelakangi oleh dua
sebab yang ckup mendasar. Pertama, masih kuatnya opini di tengah-tengah
masyarakat bahwa dalam berbahasa yang penting bisa dipahami. Imbasnya,
ketaatasasan terhadap kaidah bahasa yang berlaku menjadi nihil.
Kaidah-kaidah kebahasaan yang telah diluncurkan oleh Pusat Bahasa, eeprti
Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), Pedoman Umum Pembentukan Istilah
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, atau Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
yang diharapkan menjadi acuan normatif masyarakat dalam berbahasa, tampaknya
tidak pernah “laku”. Persoalan kebahasaab seolah-olah hanya menjadi urusan para
pakar, pemerhati, dan peminata masalah kebahasaan. Yang lebih parah, masyarakat
menganggap bahwa kaidah bahasa hanya akan membuat suasana komunikasi menjadi
kaku dan tidak komunikatif.
Opini tersebut diperparaha dengan minimnya keteladanan dari “elite” tertentu
yang seharusnya menjadi “patron” berbahasa yang baik dan benar, justru
mempermainkan dan memanipulasi bahasa sesuai dengan selera dan kepentingannya.
Akibatnya, sikap latah masyarakat kita yang cenderung paternalistik merasa tak
“berdosa”, bahkan menjadi sebuah kebanggan ketika meniru bahasa kaum “elite”.
Kedua, kurang gencarnya pemerintah –dalam hal ini Pusat Bahasa sebagai “tangan
panjang”-nya—melakukan upaya sosialisasi kaidah bahasa kepada masyarakat luas,
bahkan bisa dikatakan nyaris tanpa sosialisasi. Pemerintah sekadar
menyosialisasikan slogan dan “jargon” kebehasaan dengan memanfaatkan momentum
seremonial tertentu dalam Bulan Bahasa. Dengan kata lain, slogan “Gunakanlah
Bahasa yang Baik dan Benar” yang sering kita baca lewat berbagai media
(cetak/elektronik) terkesan hanya sekadar retorika untuk menutupi sikap masa
bodoh dan ketidakpedulian dalam menangani masalah-masalah kebahasaan.
Kaidah bahasa yang diluncurkan itu pada dasarnya bertujuan untuk menjaga
kesamaan persepsi dalam pemakaian bahasa, sehingga terjadi kesepahaman manka
antara komunikator dan komunikan. Dengan demikian, kebijakan para pakar atau
perencana bahasa dalam meng-“kodifikasi” kaidah mestinya harus tetap mengacu pada
kecenderungan-kecenderungan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat
sehingga kaidah yang diluncurkan tidak kaku dan dipaksanakan. Kecenderungan
masyarakat yang sering menggunakan istilah asing , baik dalam ragam lisan
maupun tulis, harus diserap dan diakomodasi oleh para perencana bahasa sebagai
masukan berharga dalam merumuskan konsep kebahasaan pada masa yang akan datang.
Artinya, kecenderungan modernisasi bahasa yang kini mulai marak di
tengah-tengah masyarakat dalam berbagai ragama mesti disikapi secara arif.
Dengan kata lain, modrnisasi sangat diperlukan dalam menghadapi pusaran arus
global dan mondial sehingga bahasa kita benar-benar mampu menjadi bahasa
komunikasi yang praktis, efektif, luwes, dan terbuka. Namun demikian, kita
jangan sampai dalam modernisasi bahasa yang berlebihan sehingga melunturkan
kesetiaan, kecintaan, dan kebangaan kita terhadap bahasa nasional dan bahasa
negara.
Tiga Agenda
Pada sisi lain, upaya pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar
tampaknya hanya akan menjadi slogan dan retorika apabila tidak diimbangi dengan
gencarnya sosialisasi kaidah bahasa baku di berbagai lini dan lapisan
masayarakat. Mengharapkan keteladanan generasi sekarang jelas merupakan hal
yang berlebihan. Berbahasa sangat erat kaitannya dengan kebiasaan dan kultur
sebuah generasi. Yang kita butuhkan saat ini ialah lahirnya sebuah generasi
yang dengan amat sadar memiliki tradisi berbahasa yang jujur, lugas, logis, dan
taat asas terhadap kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan hal tersebut, setidaknya ada tiga agenda pokok yang penting
segera digarap agar mampu melahirkan sebuah generasi yang memiliki tradisi
berbahasa yang baik dan benar. Pertama, menjadikan lembaga pendidikan sebagai
basis pembinaan bahasa. Lembaga pendidikan merupakan sarana yang tepat untuk
mencetak generas yang memiliki kepekaan, emosional, sosial, dan intelektual.
Bahasa jelas akan terbina dengan baik apabila sejak dini anak-anak bangsa yang
kini tengah gencar menuntut ilmu dilatih dan dibina secara serius dan intensif.
Bukan menjadikan mereka sebagai pakar bahasa, melainkan bagaimana mereka mampu
menggunakan bahasa dengan baik dan benar peristiwa tutur sehari-hari, baik
dalam ragam lisan maupun tulisan. Tentu saja, hal ini memerlukan kesiapan
fasilitas berbahas ayang memadai dengan bimbingan guru yang profesional.
Kedua, menciptakan suasana lingkungan yang kondusif yang mampu merangsang anak
untuk berbahasa dengan baik dan benar. Media televisi yang demikian akrab
dengan dunia anak harus mampu memberikan contoh penggunaan bahasa Indonesia
yang baik, bukannya malah melakukan “perusakan” bahasa melalui ejaan, kosakata,
maupu sintaksis seperti yang banyak kita saksikan selama ini. Demikian juga
fasilitas publik lain yang akrab dengan dunia anak, harus mampu menjadi media
alternatif dengan memberikan telada berbahasa yang benar setelah para orang tua
gagal menjadi “patron” dan anutan.
Ketiga, menyediakan buku bacaan yang sehat dan mendidik bagi anak-anak. Buku
bacaan yang masih menggunakan bahasa yang kurang baik dan benar harus dihindarkan
jauh-jauh dari sentuhan anak-anak. Proyek pengadaan Perbukuan Nasional harus
benar-benar cermat dan teliti dalam menganalisis buku dari aspek bahasanya.
Melalui ketiga agenda tersebut, bahasa Indonesia diharapkan benar-benar mampu
melahirkan generasi yang maju, mandiri, dan modern, yang pada gilirannya
benar-benar akan menjadi bahasa komunikasi yang praktis dan efektif di
tengah-tengah peradaban global yang terus gencar menawarkan perubahan dan
dinamika kehidupan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia akan menjadi bahasa yang
moden, tetap tetap menjadi jatidiri dari sebuah bangsa yang beradab dan
berbudaya. ***
Semoga Bermanfaat.
Refrensi : Buku Swali T.
hmmm....orang mana nie..hebat2....!!!
BalasHapus